Total Pengunjung

Selasa, 20 Maret 2012

seputar justin bieber

Gawat! Justin Bieber Berdarah dan Babak Belur! Justin Bieber Foto : ist Ghiboo.com - Apa yang terjadi bilan wajah mulus nan tampan Justin Bieber, kini penuh luka memar dan berdarah, akibat dipukuli pria-pria berbadan besar? Ada masalah apa Justin sampai wajahnya penuh luka, bahkan sampai terkapar di ring tinju? Foto yang menampilkan wajah Justin Bieber babak belur penuh darah, bahkan terkapar di arena ring tinju telah beredar di media. Dari beberapa foto yang tersebar, terlihat Justin tengah sekuat tenaga melawan dua pria berbadan besar. Meskipun Justin terlihat lelah dan kesakitan, namun kekasih Selena Gomez ini terus melawan dengan perkasa, tanpa kenal menyerah. Namun, Beliebers (fans Justin Bieber) tidak perlu takut dan khawatir. Karena, ternyata wajah 'bonyok' Justin hanya akting saja. Foto dramatis tersebut diambil seorang fotografer handal, Tony Kelly asal Dublin untuk kebutuhan cover majalah Complex, khusus edisi ulang tahun majalah Complex yang ke-10 tahun. Pada beberapa bagian foto lainnya, penyanyi yang melejit lewat lagu 'Baby' tersebut terlihat dipukuli dengan sangat keras pada bagian rahang. Sehingga, darah pun mengucur deras dari mulutnya. Justin tampak kelihatan gagah berani, dengan memasang wajah tidak gentar dan tatapan menantang lawan. Foto ini ingin mengungkapkan sisi Justin yang tidak mudah menyerah dan sangat pemberani. Namun bila dikaitkan beladiri tersebut dengan dunia musiknya, Justin mengaku sama sekali tidak berminat membuat musik yang keras, seperti yang dilakukannya dalam foto. "Saya merasa sudah tanggung jawab saya untuk menjadi besar sesuai kemampuan saya. Bila saya membuat musik yang keras, saya tidak berharap orang untuk menyukai saya. Tapi jika saya mambuat musik yang bagus, tidak ada alasan untuk orang tidak menyukai saya," ucap Justin seperti yang dilansir dari heatworld.com

Sabtu, 03 Maret 2012

comunicattion

010 01.21 faCerdas Dari Media Dan Cerdas Bermedia Saat ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak terelakkan memiliki akses terhadap media. Mereka membaca buku atau koran, mendengarkan radio, menonton televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa menjadi cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media literacy). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan dari media massa. Media seperti perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya, seorang anak yang belum masuk sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang istimewa ini sering menonton film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi. Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata dapat menjerumuskan manusia ke kubangan yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi, agresivitas, bullying, politicking, dan konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan yang “cantik” di media, tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak kagum berserakan, tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok. Di sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga menghilangkan peluang untuk kita mengasah kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni suatu potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam suatu latar kultural untuk memecahkan masalah atau menciptakan produk-produk yang merupakan nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa kecerdasan dapat diasah melalui media. Sehingga menafikan media merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan kita? Kecerdasan bermedia Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media. Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi membekali diri menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita melakukan kontak langsung dengan orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga kita tidak dapat mengambil semua pengalaman dan informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan informasi tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media. Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang, dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi, seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media. Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy secara langsung. Sebab, khalayak yang cerdas menagih kualitas manajemen media dan pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media merogoh kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi menipis. Tetapi kondisi ini bukan satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia. Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan pergaulan antarbangsa diperlukan rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta media.*